Raden Gatotkaca
Hai, kawan selamat datang di kayungyunjagad.blogspot.com, blog ini saya buat untuk melatih diri membuka cakrawala dunia dengan pengetahuan-pengetahuan terutama budaya bangsa. Dalam blog ini juga terdapat karya-karya sendiri dan teman-temanku. Semoga bermanfaat:)
Jumat, 10 Januari 2014
Rabu, 08 Januari 2014
Nalika Cilik
Nalika
cilik,
Saben
esuk, aku tansah diopeni simbok
Ing
pawon wis kebul-kebul anggone masak
Sekul
liwet, ndog dada, lan susu soklat
Sinandingake
ing meja kanggo awakku
Nanging
saiki, wis beda
Ora
saben esuk ngrasakake kaya mangakana
Nalika
cilik,
Rambut
ikal iki, sinaosi jiniret dening mbok
Jiret
siji, jiret susun, utawane kepang
Ora
ana sing bisa madani
Kejaba
simbok dhewek
Nanging
saiki,
Rambut
namung dikuwel jiret karet
Ora
dak gatekake modele,
Banjur
wae ditutupi kudhung
Nalikane
cilik,
Pancen
nyenengake
Urip
tansah kaya dadi Dewa
Dilayani
lan diopeni
Nanging
saiki, awak kudu ngerti
Yen
ana wayahe urip iki dadi dewasa
Ora
bakal cilik sateruse
Gatotkaca Lair
Setelah sekian lama ditunggu-tunggu akhirnya Dewi Arimbi mengandung anak dari Bima. Seluruh rakyat Pringgandani sangat bersukacita, dikarenakan anak ini akan menjadi generasi penerus sebagai Raja di Pringgandani bila Dewi Arimbi sudah tiada.
Saat itu seluruh putra
Pandawa disertai Sri Batara Kresna tidak ketinggalan seluruh punakawan Semar,
Astrajingga, Dawal dan Gareng berkumpul di Istana Pringgandani, merka sedang
berkumpul menunggu saat kelahiran sang putra Bima. Tidak lama berselang
terdengar tangisan bayi menggelegar menggentarkan seantero Pringgandani,
seluruhnya yang berada di bangsal menarik nafas panjang. Sesaat kemudian ada emban
yang menghaturkan berita bahwasanya sang putra mahkota laki-laki telah lahir
dalam keadaan sehat begitu juga dengan kondisi sang ibu. Mendengar hal tersebut
bertambahlah kebahagian semuanya, satu persatu dari mereka memberikan selamat
kepada Raden Aria Werkudara alias Bima atas kelahiran putrannya.
Beberapa waktu kemudian mereka bisa masuk menjenguk kedalam kamar, disana terlihat Dewi Arimbi sedang berbaring diatas ranjang berhiaskan emas permata beralaskan sutera berwarna biru terlihat senang dengan senyum mengembang dibibirnya menyambut kedatangan Bima diiringi oleh seluruh kadang wargi (saudara). Tidak jauh dari tempatnya berbaring terlihat sebuah tempat tidur yang lebih kecil, diatasnya tergolek seorang bayi laki-laki sangat gagah dan tampat layaknya ksatria trah dewa, hanya saja ari-ari dari bayi tersebut masih menempel belum diputus. Ketika hal tersebut ditanyakan emban menjawab bahwa seluruh upaya untuk memotong tali ari-ari tersebut selalu gagal. Tidak ada satu senjatapun yang berhasil memotongnya.
Mendengar hal tersebut Bima sangat gusar dan meminta tolong kepada saudara-saudaranya untuk memotong tali ari-ari anaknya yang diberinama Jabang Tutuka. Bima mencoba memotong dengan kuku pancana gagal, diikuti oleh Arjuna mencoba menggunakan seluruh senjatanya diawali dengan keris Pancaroba, keris Kalandah, panah Sarotama bahkan panah Pasopati semuanya gagal. Sri Batara Kresna yang saat itu hadir mencoba dengan senjata saktinya Cakra Udaksana, hanya menghasilkan percikan-percikan api ketika dicoba memotong tali ari-ari itu. Semuanya terbengong-bengong merasa takjub dan heran disertai rasa putus asa, Dewi Arimbi hanya bisa menangis melihat hal tersebut dirundung rasa khawatir jika anaknya harus membawa tali ari-ari hingga dewasa. Ditengah suasana tersebut tanpa diketahui sebelumnya Begawan Abiyasa yang tak lain kakek dari para Pandawa atau buyut dari Jabang Tutuka telah hadir ditempat tersebut, semua yang hadir memberikan sembah sungkem kepadanya. Begawan yang sakti mandraguna ini mengatakan bahwa tali ari-ari itu hanya akan bisa dipotong oleh senjata kadewatan yang berasal dari Batar Guru. Untuk itu Sang Begawan meminta Arjuna untuk pergi ke Kahyangan mencari senjata tersebut. Setelah mendapat perintah dari kakeknya dan meminta ijin kepada saudara-saudaranya Arjuna disertai oelh para punakawan segera menuju Kahyangan untuk mencari senjata yang dimaksud oleh Begawan Abiyasa, sedangkan Sang Begawan sendiri bergegas pulang kembali ke Padepokan setelah memberikan do’a serta merapal beberapa mantra untuk buyut / cicitnya tersebut.
Nun jauh di Kahyangan sana keadaan sedang gonjang-ganjing dikarenakan serangan dari Naga Percona yang ingin memperistri salah satu bidadari yang bernama Dewi Supraba. Dikarenakan Naga Percona bukan sembarang makhluk, dia adalah raja yang mempunyai kesaktian mumpuni dan bisa dikatakan sama bahkan sedikit diatas diatas para dewa, jelas sangat merepotkan barisan dewa-dewa yang dipimpin oleh Batara Indra dalam menghadapi nya. Serangan petir Batara Indra tidak ubahnya lemparan daun-daun kering dari anak-anak, kobaran api Batara Brahma hanya menjadi menjadi mainan saja. Batara Bayu yang mendoronganya dengan badai besar tidak membutnya mundur walaupun seujung kuku, bahkan badannya tidak goyang sedikitpun. Cakra Udaksana dari Batar Wisnu sama sekali tidak mencenderainya, singkatnya para dewa dipukul mundur dengan kondisi babak-belur.
Beberapa waktu kemudian mereka bisa masuk menjenguk kedalam kamar, disana terlihat Dewi Arimbi sedang berbaring diatas ranjang berhiaskan emas permata beralaskan sutera berwarna biru terlihat senang dengan senyum mengembang dibibirnya menyambut kedatangan Bima diiringi oleh seluruh kadang wargi (saudara). Tidak jauh dari tempatnya berbaring terlihat sebuah tempat tidur yang lebih kecil, diatasnya tergolek seorang bayi laki-laki sangat gagah dan tampat layaknya ksatria trah dewa, hanya saja ari-ari dari bayi tersebut masih menempel belum diputus. Ketika hal tersebut ditanyakan emban menjawab bahwa seluruh upaya untuk memotong tali ari-ari tersebut selalu gagal. Tidak ada satu senjatapun yang berhasil memotongnya.
Mendengar hal tersebut Bima sangat gusar dan meminta tolong kepada saudara-saudaranya untuk memotong tali ari-ari anaknya yang diberinama Jabang Tutuka. Bima mencoba memotong dengan kuku pancana gagal, diikuti oleh Arjuna mencoba menggunakan seluruh senjatanya diawali dengan keris Pancaroba, keris Kalandah, panah Sarotama bahkan panah Pasopati semuanya gagal. Sri Batara Kresna yang saat itu hadir mencoba dengan senjata saktinya Cakra Udaksana, hanya menghasilkan percikan-percikan api ketika dicoba memotong tali ari-ari itu. Semuanya terbengong-bengong merasa takjub dan heran disertai rasa putus asa, Dewi Arimbi hanya bisa menangis melihat hal tersebut dirundung rasa khawatir jika anaknya harus membawa tali ari-ari hingga dewasa. Ditengah suasana tersebut tanpa diketahui sebelumnya Begawan Abiyasa yang tak lain kakek dari para Pandawa atau buyut dari Jabang Tutuka telah hadir ditempat tersebut, semua yang hadir memberikan sembah sungkem kepadanya. Begawan yang sakti mandraguna ini mengatakan bahwa tali ari-ari itu hanya akan bisa dipotong oleh senjata kadewatan yang berasal dari Batar Guru. Untuk itu Sang Begawan meminta Arjuna untuk pergi ke Kahyangan mencari senjata tersebut. Setelah mendapat perintah dari kakeknya dan meminta ijin kepada saudara-saudaranya Arjuna disertai oelh para punakawan segera menuju Kahyangan untuk mencari senjata yang dimaksud oleh Begawan Abiyasa, sedangkan Sang Begawan sendiri bergegas pulang kembali ke Padepokan setelah memberikan do’a serta merapal beberapa mantra untuk buyut / cicitnya tersebut.
Nun jauh di Kahyangan sana keadaan sedang gonjang-ganjing dikarenakan serangan dari Naga Percona yang ingin memperistri salah satu bidadari yang bernama Dewi Supraba. Dikarenakan Naga Percona bukan sembarang makhluk, dia adalah raja yang mempunyai kesaktian mumpuni dan bisa dikatakan sama bahkan sedikit diatas diatas para dewa, jelas sangat merepotkan barisan dewa-dewa yang dipimpin oleh Batara Indra dalam menghadapi nya. Serangan petir Batara Indra tidak ubahnya lemparan daun-daun kering dari anak-anak, kobaran api Batara Brahma hanya menjadi menjadi mainan saja. Batara Bayu yang mendoronganya dengan badai besar tidak membutnya mundur walaupun seujung kuku, bahkan badannya tidak goyang sedikitpun. Cakra Udaksana dari Batar Wisnu sama sekali tidak mencenderainya, singkatnya para dewa dipukul mundur dengan kondisi babak-belur.
Batara Guru merapal
mantra dan melihat Kaca Trenggana, diperoleh keterangan bahwa yang bisa
mengalahkan Naga Percona hanyalah Jabang Tutuka anak Bima yang baru lahir.
Selanjutnya Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk memberikan senjata
darinya yang bernama panah Konta Wijayadanu kepada Arjuna untuk memotong
ari-ari Jabang Tutuka dengan imbalan bayi tersebut harus menjadi panglima
perang mengahadapi Naga Percona. Disaat yang bersamaan Aradeya atau Karna
sedang bertapa di tepi Sungai Gangga mencari senjata sakti untuk dirinya, pada
saat Batara Narada mendekati tempat tersebut hatinya senang karena Aradeya ini
disangkanya Arjuna, karena rupanya benar-benar mirip dan Batara Surya yang
merupakan ayah dari Aradeya sengaja mengeluarkan sinar berkilauan disekitar
Aradeya sehingga Batara Narada tidak terlalu jelas melihatnya, sehingga tidak
sadar bahwa orang yang diserahi senjata tersebut bukanlah Arjuna.
Setelah mendapatkan senjata sakti kadewatan Aradeya sangat gembira dan langsung berlari tanpa mengucapkan terima kasih kepada Batara Narada, hal itu membuat Batara Narada tersadar bahwa dia salah orang, tidak lama kemudian Arjuan disertai oleh para Punakawan datang ketempat tersebut, dengan sedih Batara Narada bercerita bahwa dirinya telah salah orang menyerahkan senjata kadewatan yang seharusnya diserahkan kepada Jabang Tutuka lewat tangan Arjuna, malah diserahkan kepada orang yang tidak dikenal dan mempunyai rupa mirip dengan Arjuna. Mendengar hal tersebut Semar sangat menyalahkan Batara Narada karena gegabah menyerahkan senjata sakti kepada orang asing, serta segera meminta Arjuna mengejar orang tersebut.
Arjuna berlari dan berhasil menyusul Aradeya, awalnya senjata tersebut diminta baik-baik dan dikatakan akan digunakan olehnya untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Aradeya tidak menggubrisnya akhirnya terjadi perang-tanding memperebutkan senjata tersebut, sampai suatu ketika Arjuna berhasil memegang sarung senjata tersebut sedangkan Aradeya memegang gagang panah Konta Waijayadanu. Mereka saling tarik dan akhirnya terjerembab dikarenakan senjata Konta lepas dari warangka / sarungnya. Kemudian Aradeya berlari kembali dan kali ini Arjuna kehilangan jejak.
Dengan sedih hati
Arjuna menunjukkan warangka senjata Konta kepada Semar, kemudian atas saran
Semar mereka kembali ke Pringgandani sedangkan Batara Narada disuruh pulang ke
Kahyangan dan dikatakan bahwa Jabang Tutuka akan segera dibawa ke Kahyangan.
Sesampainya di Keraton Pringgandani warangka tersebut digunakan untuk memotong
tali ari-ari Jabang Tutuka, ajaib sekali tali ari-ari putus sedangkan warangka
senajata kadewatan itu masuk kedalam udel Jabang Tutuka. Hal ini menurut Semar
sudah menjadi suratan bahwa nanti diakhir cerita peperangan besar / Bharata
Yuda senjata itu akan masuk kembali kewarangkanya, dengan kata lain Jabang
Tutuka akan mati jika menghadapi senjata Konta Wijayadanu.
Setelah tali ari-ari berhasil dipotong Arjuna hendak membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan untuk memenuhi janji kepada Batara Narada, bahwa Jabang Tutuka akan menjadi panglima perang dan menghadapi Naga Percona. Awalnya Bima melarang karena anaknya masih bayi dan dirinya sanggup untuk menggantikan melawan Naga Percona. Setelah Semar berkata bahwa Jabang Tutukalah yang harus berangkat karena dia yang dipercaya oleh dewa dan Jabang Tutuka pula yang telah menggunakan senjata kadewatan bukan yang lain. Disamping itu Semar menjamin jika terjadi suatu hal yang menyebabkan Jabang Tutuka celaka, Semar berani menaruhkan nyawanya kepada Bima. Mendengar hal tersebut dari Semar, Bima yang mempunyai pandangan linuwih dan menyadari siapa sesungguhnya Semar ini, akhirnya mengijinkan putra berperang melawan Naga Percona.
Setelah tali ari-ari berhasil dipotong Arjuna hendak membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan untuk memenuhi janji kepada Batara Narada, bahwa Jabang Tutuka akan menjadi panglima perang dan menghadapi Naga Percona. Awalnya Bima melarang karena anaknya masih bayi dan dirinya sanggup untuk menggantikan melawan Naga Percona. Setelah Semar berkata bahwa Jabang Tutukalah yang harus berangkat karena dia yang dipercaya oleh dewa dan Jabang Tutuka pula yang telah menggunakan senjata kadewatan bukan yang lain. Disamping itu Semar menjamin jika terjadi suatu hal yang menyebabkan Jabang Tutuka celaka, Semar berani menaruhkan nyawanya kepada Bima. Mendengar hal tersebut dari Semar, Bima yang mempunyai pandangan linuwih dan menyadari siapa sesungguhnya Semar ini, akhirnya mengijinkan putra berperang melawan Naga Percona.
Arjuna disertai para Punakawan segera membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan, setelah mendekati gerbanga Selapa Tangkep tepatnya di Tegal Ramat Kapanasan Arjuna meletakkan Jabang Tutuka ditengah jalan menuju gerbang. Selanjutnya Arjuna memperhatikan dari jauh bersama dengan para dewa, tak lama berselang Naga Percona datang dan melihat ada bayi ditengah jalan. Dia meledek Batara Guru yang dikatakannya sudah gila karena menyuruhnya bertarung dengan bayi yang hanya bisa menangis. Kemudia dia mengangkat Jabang Tutuka dan mendekatkan wajahnya ke wajah bayi tersebut, tidak disangkan tangan Jabang Tutuka mengayun dan berhasil meluaki satu matanya sehingga berdarah. Kontan Naga Percona marah dan membanting Jabang Tutuk kearah pintu gerbang hingga mati. Melihat hal tersebut para dewa tak terkecuali Batara Guru, Batara Narada dan Arjuna kaget dan was-was jika Bima sampai tahu anaknya mati oleh Naga Percona pasti akan mengamuk ke Kahyangan. Hanya saja Semar dengan cepat berbisik ke Batara Guru untuk segera menggodok Jabang Tutuka di Kawah Candradimuka, Batara Guru segera memerintahkan Batara Yamadipati untuk segera membawa tubuh Jabang Tutuka ke Kawah Candradimuka dan menggodoknya. Selanjutnya para dewa disuruhnya melemparkan / mencampurkan senajata yang dimilikinya untuk membentuk tubuh Jabang Tutuka lebih kuat, lama-kelamaan terbentuklah tubuh satria gagah dari dalam godogan tersebut. Kemudian para dewa membirkannya pakaian dan perhiasan untuk Jabang Tutuka yang baru tersebut, selanjutnya diakarenakan dia mati belum waktunya berhasil dihidupkan kembali oleh Batar Guru.
Selain mendapat
anugerah berupa pakaian, perhiasan dan senjata yang sudah membentuk tubuhnya
Jabang Tutuka juga memperoleh beberanama dari para dewa diantaranya : Krincing
Wesi, Kaca Negara, Purabaya, Kancing Jaya, Arimbi Suta, Bima Putra dan
Gatotkaca. Nama terakhir inilah yang kemudian digunakan dalam dunia pewayangan.
Dengan tampilan yang sangat beda dari sebelumnya Jabang Tutuka yang menggunakan
nama baru Gatotkaca bertempur kembali dengan Naga Percona, dan akhirnya behasil
merobek mulut dan tubuh Naga Percona menjadi dua bagian. Itulah akhir dari
hidupnya Naga Percona yang membawa kedamaian di Kahyangan, sekaligus menjadi
awal kepahlawanan Gatotkaca sang putra Bima.
sumber : http://joher-caritawayang.blogspot.com/2009/06/gatotkaca-lahir.html
Sasmitane panguripan
Jarene
wong –wong cablaka
Urip
iki kudu tansah blakasuta
Blak-blakan
lan apa anane
Ngati-ati
aja nganti sulaya
Wong
urip iki ya kudu kaya pantun
Andhap
asor, saya tambah isine saya ndingkluk
Loman
lan paweweh uga penting
Seneng
weh-weh marang bebrayan urip
Bebrayan
kanggo tentreme panguripan
Aja
nganti wiring lan mirangi
Tresnaku Wurung
“asalmu
saka ndi dhik?”
“aku?”
“iya”
“saka Banyumas mas”
“owalah nyong yaa?”
“hehe ya kayakue lah”
Omongan kuwi ora bakal tak laleni nganti saiki. Nalika
kuwi bubar pertandingan aku balik bareng-bareng karo kanca-kanca sak tim.
Dheweke uga melu, merga kuwi pertandingan kanggo lanang lan wadon. Nembe
dheweke sing nakokake asalku saka ndi saka akehe wong kang bareng karo aku. Ya
merga kancaku kabeh wis ngerti aku asale saka endi, hehe. Mbuh kenangapa kok
bareng dheweke nakokake asalku saka endi rasane kaya beda. Krungu swarane atiku
ndredeg jantungku kaya mlayu-mlayu sprint
cepet banget. Ana ing dalan karo bonceng motor aku karo mesem-mesem dhewek,
rasane bungah pisan. Sabubare pertandingan kuwi aku lan kanca-kanca ora
langsung balik nanging mampir ana ing rumah makan dhisik. Arane warung steak, haha ya aku tembe mlebu marang panggonan
kaya ngono kuwi mangan panganane wong barat. Ning warung kuwi biasa wae aku
ngobrol-ngobrol karo kanca liyane kaya adate. Wis rampung mangan banjur balik.
Sakdurunge budhal aku bayar ongkos parkiran dhisik. Kebeneran motore dheweke
ana ing buri motor sing aku tumpaki sisan wae tak bayari, dheweke mesem karo
ngomong kesuwun. Aku ya melu mesem, dheweke uga ngajak guyon sedhela. Rasane
bungah banget atiku, mbuh kenangapa. Wengi kuwi pancen wengi kang seje lan
tembunge mau esih kaemut-emut nganti saiki. Jenenge Awan Kurniawan mahasiswa
semester enem jurusan Ilmu Keolahragaan. Yen kuliah pancen aku ora tau tepang
karo dheweke merga dheweke wis semester dhuwur lan aku esih semester enom dadi
jadwale beda. Bareng wengi iku bocah-bocah kang wis foto-foto ngunggah fotone
ana ing grup ukm facebook. Dheweke
lan aku ya ditandai. Ning kono aku lan mas Awan komen-komenan seru nanging durung
kekancanan ana ning facebook. Akhire aku
ngewanekake kanggo ngeadd dheweke
dadi batir facebook ku. Eeeeh ora
suwe saka aku ngeadd dheweke langsung
ngonfirm aku. Dheweke pancen dudu wong sombong dadi pantes wae nek gelem
ngonfirm aku. Suwe-suwe aku karo dheweke sering komunikasi lewat dunia maya
yaiku facebook. Yen aku pasang status
dheweke sok-sok komen, ngono uga aku. Sangsaya suwe aku karo dheweke tambah
akrab nganti chatingan barang. Batinku
ya mung supaya dadi tambah akeh batir akrabku, nanging nyatane manah ora bisa
dilomboni. Ana rasa-rasa sing nlusup luwih saka rasa seneng karo batir. Nalika
latiyan aku dadi sering ketemu karo dheweke. Aku uga dadi tambah semangat
anggone latiyan sanajan yen ketemu latiyan ya aku ora akeh ngomong karo
dheweke. Merga dheweke kuwi wonge ora doyan ngomong nanging akeh polah-polahe
dheweke sing gawe aku gumun. Latiyan bareng kirane wis ana sewulanan, nganti
kanggo persiapan pertandingan sebanjure. Bar pertandingan kuwi latiyan
dipreikake dhisik merga ketabrak wulan puasa. Batinku “ yaa prei ning umah ora
bisa latiyan lan ketemu karo dheweke maneh”.
Wulan puasa dilakoni kaya biasane aku ya ngrasa
bosen merga aku adoh karo kanca-kancaku. Wayahe saur kaya biasa aku mangan karo
bapak lan ibu. Aku bukak hape jebule ana pemberitahuan saka fb pesan saka Awan Kurniawan.
“Assalamualaikum, dhik Banyumasmu ndi?”
“Wa’alaikumsalam, aku Rawalo mas”
“ hah masak? Ya cedhak karo aku dhik mas Sampang
ngerti kan dhik?”
“ oya aku ngerti mas”
“lagi ngapa dhik?”
“ aku lagi nonton tivi”
“lah wis maem apa durung?”
“ uwis mas miki nembe bae”
Aku
kaget nalikane dheweke ngomong asale saka Sampang cedhak saka nggonku, takira
asale mas Awan kuwi ya saka daerah wetanan. Saka wektu iku aku karo dheweke
dadi sering omong-omongan lewat fb,
nganti dheweke njaluk nomor hape ku ddi kadang fban kadang smsan. Saben
dina mas Awan mesti sms aku takon
lagi ngapa, wis maem durung, saka esuk nganti bengi malah kadang ngasi lembur
nggarap tugas bareng diselingi chatingan
lewat facebook. Suwe-suwe merga
dheweke aweh perhatian sing luwih maring aku, aku dadi kulina lan ngrasa sreg karo
dheweke. Malah bareng mlebu kuliah aku sok-sokan diparani dheweke yen aku balik
kampung dheweke uga pernah dolan menyang omahku. Saka iku, aku ngrasa yen apa
sing dheweke lakoni marang aku wis ngluwihi perhatiane marang batir biasa. Aku
esih eling nalika dheweke dolan maring omahku, mas Awan langsung bisa akrab
karo wong tuaku. Sing gawe lucu malah nalikane ibuku weruh dheweke dikirani mas
Awan kuwi wong wedhok merga rambute kang gondrong kaya rambute wong wedhok. Pas
ning omah ya ibuku seneng karo dheweke. Mas Awan nganti ngomong yen aku karo
dheweke wis kaya sedulur dadi ana ing rantau ana kancane bisa njaga siji lan
sijine. Krungu omongane dheweke, atiku ngrasa krenteg nganti semana penggalihe
dheweke marang awakku.
Saben dina diliwati kaya biasa dina-dinaku diiseni
karo sms-smse mas Awan, perhatiane,
lan keapikane marang aku. Aku ing kene uga dadi ngrasa aman lan tenang merga
wis ana wong sing bisa dijaluki tulung kaya sedulure dhewek. Kadang mas Awan
dolan maring kosku malah pernah ngancani aku tuku obat. Rasane uripku beda kaya
adate, bareng mas Awan teka ana ing panguripanku. Perhatiane dheweke marang aku
kuwi kaya perhatiane wong marang pacare, tanganku dicekel, rambutku
dielus-elus, gawe aku ngrasa bingung dhewek, nanging aku ya ora wani takon
maring dheweke apa sing sebenere dheweke rasakake marang awakku iki. Amarga aku
ya esih kemutan biyen nalika wiwit tepang dheweke ngomong yen aku lan dheweke
bakalan dadi kakang adhik selawase. Aku bingung nanging uga seneng, ana wong
sing ngomong kaya mengkana. Nanging sawijining dina atiku ngrasa suwung merga
mas Awan ujug-ujug ora sms aku maneh kira-kira seminggu suwene. Aku ngewanekake
sms dheweke dhisik.
“mas kenangapa si, kok wis pirang dina iki ora sms
adhik maneh apa mas wis lali karo adhik, apa mas lagi nyoba ngilang saka adhik?
Maaf yen adhik ana salah”
“ora kok dhik, mas ora ana penggalih kaya mangkana.
Kuwi penggalihmu wae”
Sepet
kuwi mas Awan dadi jarang sms aku. Suwe sangsaya suwe aku ya dadi melu meneng
ora wani nganggu dheweke. Nganti saiki
dheweke ora pernah ngubungi aku maneh, embuh apa alesane. Aku namung bisa
ngenang kenangan sing dheweke aweh maring aku. Kaya nalikane pas malem minggu
dheweke maring kosku ngajak aku dolan sewengi muput. Diajak mangan,
ndelok-ndelok kaendahan kota, jagongan ing alun-alun, rasane bungah banget
merga aku ora pernah ngrasakake bungah kang kaya mengkana. Ing wengi kuwi aku
celathu.
“ mas aku wedi yen mas Awan bakal
ninggalake adhik”
“tenang dhik aku ora bakal
ninggallake awakmu”
Omongan
kuwi sing aku cekel nganti saiki, sanajan saiki dheweke wis ora genah ana endi
parane. Ujug-ujug amleng ora ana pawartane, namung lewat fb utawa kanca-kancane
kang kadang aweh ngerti marang aku kahanane dheweke. Kaya kecocog eri atiku
lara-selarane, rasane wis ora bisa diungkapake maneh karo tembung apa wae.
Dheweke kang wis menehi janji-janji marang awakku, dheweke sing aweh perhatian
luwih nanging saiki ora blas. Dheweke urung ngerti apa sing dirasakake atiku
merga perhatiane dheweke, aku uga ora ngerti apa satemene rasa ing jero manahe
marang sliraku. Tresnaku kang kependhem, durung medhar saka lambeku, nanging
dheweke malah wis ngilang ndisiki godhong-godhong garing kang tumiba saka
pange. Atiku wis ora genah rupane, dina-dina kang endah kae wis ilang ketutupan
awan ireng lan kegawa angin ora ngerti maring ndi parane. Aku namung bisa sabar
lan pasrah nglakoni urip iki. Muga-muga mas Awan tansah ora duweni rasa sebel
utawa wadeh marang awakku, lan mugi ana titi mangsane dheweke ana maneh ing
panguripanku.
Langganan:
Postingan (Atom)