Rabu, 08 Januari 2014

Nalika Cilik



Nalika cilik,
Saben esuk, aku tansah diopeni simbok
Ing pawon wis kebul-kebul anggone masak
Sekul liwet, ndog dada, lan susu soklat
Sinandingake ing meja kanggo awakku
Nanging saiki, wis beda
Ora saben esuk ngrasakake kaya mangakana
Nalika cilik,
Rambut ikal iki, sinaosi jiniret dening mbok
Jiret siji, jiret susun, utawane kepang
Ora ana sing bisa madani
Kejaba simbok dhewek
Nanging saiki,
Rambut namung dikuwel jiret karet
Ora dak gatekake modele,
Banjur wae ditutupi kudhung
Nalikane cilik,
Pancen nyenengake
Urip tansah kaya dadi Dewa
Dilayani lan diopeni
Nanging saiki, awak kudu ngerti
Yen ana wayahe urip iki dadi dewasa
Ora bakal  cilik sateruse

Gatotkaca Lair


Setelah sekian lama ditunggu-tunggu akhirnya Dewi Arimbi mengandung anak dari Bima. Seluruh rakyat Pringgandani sangat bersukacita, dikarenakan anak ini akan menjadi generasi penerus sebagai Raja di Pringgandani bila Dewi Arimbi sudah tiada.
Saat itu seluruh putra Pandawa disertai Sri Batara Kresna tidak ketinggalan seluruh punakawan Semar, Astrajingga, Dawal dan Gareng berkumpul di Istana Pringgandani, merka sedang berkumpul menunggu saat kelahiran sang putra Bima. Tidak lama berselang terdengar tangisan bayi menggelegar menggentarkan seantero Pringgandani, seluruhnya yang berada di bangsal menarik nafas panjang. Sesaat kemudian ada emban yang menghaturkan berita bahwasanya sang putra mahkota laki-laki telah lahir dalam keadaan sehat begitu juga dengan kondisi sang ibu. Mendengar hal tersebut bertambahlah kebahagian semuanya, satu persatu dari mereka memberikan selamat kepada Raden Aria Werkudara alias Bima atas kelahiran putrannya.

Beberapa waktu kemudian mereka bisa masuk menjenguk kedalam kamar, disana terlihat Dewi Arimbi sedang berbaring diatas ranjang berhiaskan emas permata beralaskan sutera berwarna biru terlihat senang dengan senyum mengembang dibibirnya menyambut kedatangan Bima diiringi oleh seluruh kadang wargi (saudara). Tidak jauh dari tempatnya berbaring terlihat sebuah tempat tidur yang lebih kecil, diatasnya tergolek seorang bayi laki-laki sangat gagah dan tampat layaknya ksatria trah dewa, hanya saja ari-ari dari bayi tersebut masih menempel belum diputus. Ketika hal tersebut ditanyakan emban menjawab bahwa seluruh upaya untuk memotong tali ari-ari tersebut selalu gagal. Tidak ada satu senjatapun yang berhasil memotongnya.

Mendengar hal tersebut Bima sangat gusar dan meminta tolong kepada saudara-saudaranya untuk memotong tali ari-ari anaknya yang diberinama Jabang Tutuka. Bima mencoba memotong dengan kuku pancana gagal, diikuti oleh Arjuna mencoba menggunakan seluruh senjatanya diawali dengan keris Pancaroba, keris Kalandah, panah Sarotama bahkan panah Pasopati semuanya gagal. Sri Batara Kresna yang saat itu hadir mencoba dengan senjata saktinya Cakra Udaksana, hanya menghasilkan percikan-percikan api ketika dicoba memotong tali ari-ari itu. Semuanya terbengong-bengong merasa takjub dan heran disertai rasa putus asa, Dewi Arimbi hanya bisa menangis melihat hal tersebut dirundung rasa khawatir jika anaknya harus membawa tali ari-ari hingga dewasa. Ditengah suasana tersebut tanpa diketahui sebelumnya Begawan Abiyasa yang tak lain kakek dari para Pandawa atau buyut dari Jabang Tutuka telah hadir ditempat tersebut, semua yang hadir memberikan sembah sungkem kepadanya. Begawan yang sakti mandraguna ini mengatakan bahwa tali ari-ari itu hanya akan bisa dipotong oleh senjata kadewatan yang berasal dari Batar Guru. Untuk itu Sang Begawan meminta Arjuna untuk pergi ke Kahyangan mencari senjata tersebut. Setelah mendapat perintah dari kakeknya dan meminta ijin kepada saudara-saudaranya Arjuna disertai oelh para punakawan segera menuju Kahyangan untuk mencari senjata yang dimaksud oleh Begawan Abiyasa, sedangkan Sang Begawan sendiri bergegas pulang kembali ke Padepokan setelah memberikan do’a serta merapal beberapa mantra untuk buyut / cicitnya tersebut.

Nun jauh di Kahyangan sana keadaan sedang gonjang-ganjing dikarenakan serangan dari Naga Percona yang ingin memperistri salah satu bidadari yang bernama Dewi Supraba. Dikarenakan Naga Percona bukan sembarang makhluk, dia adalah raja yang mempunyai kesaktian mumpuni dan bisa dikatakan sama bahkan sedikit diatas diatas para dewa, jelas sangat merepotkan barisan dewa-dewa yang dipimpin oleh Batara Indra dalam menghadapi nya. Serangan petir Batara Indra tidak ubahnya lemparan daun-daun kering dari anak-anak, kobaran api Batara Brahma hanya menjadi menjadi mainan saja. Batara Bayu yang mendoronganya dengan badai besar tidak membutnya mundur walaupun seujung kuku, bahkan badannya tidak goyang sedikitpun. Cakra Udaksana dari Batar Wisnu sama sekali tidak mencenderainya, singkatnya para dewa dipukul mundur dengan kondisi babak-belur.
Batara Guru merapal mantra dan melihat Kaca Trenggana, diperoleh keterangan bahwa yang bisa mengalahkan Naga Percona hanyalah Jabang Tutuka anak Bima yang baru lahir. Selanjutnya Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk memberikan senjata darinya yang bernama panah Konta Wijayadanu kepada Arjuna untuk memotong ari-ari Jabang Tutuka dengan imbalan bayi tersebut harus menjadi panglima perang mengahadapi Naga Percona. Disaat yang bersamaan Aradeya atau Karna sedang bertapa di tepi Sungai Gangga mencari senjata sakti untuk dirinya, pada saat Batara Narada mendekati tempat tersebut hatinya senang karena Aradeya ini disangkanya Arjuna, karena rupanya benar-benar mirip dan Batara Surya yang merupakan ayah dari Aradeya sengaja mengeluarkan sinar berkilauan disekitar Aradeya sehingga Batara Narada tidak terlalu jelas melihatnya, sehingga tidak sadar bahwa orang yang diserahi senjata tersebut bukanlah Arjuna.

Setelah mendapatkan senjata sakti kadewatan Aradeya sangat gembira dan langsung berlari tanpa mengucapkan terima kasih kepada Batara Narada, hal itu membuat Batara Narada tersadar bahwa dia salah orang, tidak lama kemudian Arjuan disertai oleh para Punakawan datang ketempat tersebut, dengan sedih Batara Narada bercerita bahwa dirinya telah salah orang menyerahkan senjata kadewatan yang seharusnya diserahkan kepada Jabang Tutuka lewat tangan Arjuna, malah diserahkan kepada orang yang tidak dikenal dan mempunyai rupa mirip dengan Arjuna. Mendengar hal tersebut Semar sangat menyalahkan Batara Narada karena gegabah menyerahkan senjata sakti kepada orang asing, serta segera meminta Arjuna mengejar orang tersebut.

Arjuna berlari dan berhasil menyusul Aradeya, awalnya senjata tersebut diminta baik-baik dan dikatakan akan digunakan olehnya untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Aradeya tidak menggubrisnya akhirnya terjadi perang-tanding memperebutkan senjata tersebut, sampai suatu ketika Arjuna berhasil memegang sarung senjata tersebut sedangkan Aradeya memegang gagang panah Konta Waijayadanu. Mereka saling tarik dan akhirnya terjerembab dikarenakan senjata Konta lepas dari warangka / sarungnya. Kemudian Aradeya berlari kembali dan kali ini Arjuna kehilangan jejak.
Dengan sedih hati Arjuna menunjukkan warangka senjata Konta kepada Semar, kemudian atas saran Semar mereka kembali ke Pringgandani sedangkan Batara Narada disuruh pulang ke Kahyangan dan dikatakan bahwa Jabang Tutuka akan segera dibawa ke Kahyangan. Sesampainya di Keraton Pringgandani warangka tersebut digunakan untuk memotong tali ari-ari Jabang Tutuka, ajaib sekali tali ari-ari putus sedangkan warangka senajata kadewatan itu masuk kedalam udel Jabang Tutuka. Hal ini menurut Semar sudah menjadi suratan bahwa nanti diakhir cerita peperangan besar / Bharata Yuda senjata itu akan masuk kembali kewarangkanya, dengan kata lain Jabang Tutuka akan mati jika menghadapi senjata Konta Wijayadanu.

Setelah tali ari-ari berhasil dipotong Arjuna hendak membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan untuk memenuhi janji kepada Batara Narada, bahwa Jabang Tutuka akan menjadi panglima perang dan menghadapi Naga Percona. Awalnya Bima melarang karena anaknya masih bayi dan dirinya sanggup untuk menggantikan melawan Naga Percona. Setelah Semar berkata bahwa Jabang Tutukalah yang harus berangkat karena dia yang dipercaya oleh dewa dan Jabang Tutuka pula yang telah menggunakan senjata kadewatan bukan yang lain. Disamping itu Semar menjamin jika terjadi suatu hal yang menyebabkan Jabang Tutuka celaka, Semar berani menaruhkan nyawanya kepada Bima. Mendengar hal tersebut dari Semar, Bima yang mempunyai pandangan linuwih dan menyadari siapa sesungguhnya Semar ini, akhirnya mengijinkan putra berperang melawan Naga Percona.


Arjuna disertai para Punakawan segera membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan, setelah mendekati gerbanga Selapa Tangkep tepatnya di Tegal Ramat Kapanasan Arjuna meletakkan Jabang Tutuka ditengah jalan menuju gerbang. Selanjutnya Arjuna memperhatikan dari jauh bersama dengan para dewa, tak lama berselang Naga Percona datang dan melihat ada bayi ditengah jalan. Dia meledek Batara Guru yang dikatakannya sudah gila karena menyuruhnya bertarung dengan bayi yang hanya bisa menangis. Kemudia dia mengangkat Jabang Tutuka dan mendekatkan wajahnya ke wajah bayi tersebut, tidak disangkan tangan Jabang Tutuka mengayun dan berhasil meluaki satu matanya sehingga berdarah. Kontan Naga Percona marah dan membanting Jabang Tutuk kearah pintu gerbang hingga mati. Melihat hal tersebut para dewa tak terkecuali Batara Guru, Batara Narada dan Arjuna kaget dan was-was jika Bima sampai tahu anaknya mati oleh Naga Percona pasti akan mengamuk ke Kahyangan. Hanya saja Semar dengan cepat berbisik ke Batara Guru untuk segera menggodok Jabang Tutuka di Kawah Candradimuka, Batara Guru segera memerintahkan Batara Yamadipati untuk segera membawa tubuh Jabang Tutuka ke Kawah Candradimuka dan menggodoknya. Selanjutnya para dewa disuruhnya melemparkan / mencampurkan senajata yang dimilikinya untuk membentuk tubuh Jabang Tutuka lebih kuat, lama-kelamaan terbentuklah tubuh satria gagah dari dalam godogan tersebut. Kemudian para dewa membirkannya pakaian dan perhiasan untuk Jabang Tutuka yang baru tersebut, selanjutnya diakarenakan dia mati belum waktunya berhasil dihidupkan kembali oleh Batar Guru.

Selain mendapat anugerah berupa pakaian, perhiasan dan senjata yang sudah membentuk tubuhnya Jabang Tutuka juga memperoleh beberanama dari para dewa diantaranya : Krincing Wesi, Kaca Negara, Purabaya, Kancing Jaya, Arimbi Suta, Bima Putra dan Gatotkaca. Nama terakhir inilah yang kemudian digunakan dalam dunia pewayangan. Dengan tampilan yang sangat beda dari sebelumnya Jabang Tutuka yang menggunakan nama baru Gatotkaca bertempur kembali dengan Naga Percona, dan akhirnya behasil merobek mulut dan tubuh Naga Percona menjadi dua bagian. Itulah akhir dari hidupnya Naga Percona yang membawa kedamaian di Kahyangan, sekaligus menjadi awal kepahlawanan Gatotkaca sang putra Bima.

sumber : http://joher-caritawayang.blogspot.com/2009/06/gatotkaca-lahir.html

Sasmitane panguripan




Jarene wong –wong cablaka
Urip iki kudu tansah blakasuta
Blak-blakan lan apa anane
Ngati-ati aja nganti sulaya
Wong urip iki ya kudu  kaya pantun
Andhap asor, saya tambah isine saya ndingkluk
Loman lan paweweh uga penting
Seneng weh-weh marang bebrayan urip
Bebrayan kanggo tentreme panguripan
Aja nganti wiring lan mirangi

Tresnaku Wurung



“asalmu saka ndi dhik?”
            “aku?”
            “iya”
            “saka Banyumas mas”
            “owalah nyong yaa?”
            “hehe ya kayakue lah”
Omongan kuwi ora bakal tak laleni nganti saiki. Nalika kuwi bubar pertandingan aku balik bareng-bareng karo kanca-kanca sak tim. Dheweke uga melu, merga kuwi pertandingan kanggo lanang lan wadon. Nembe dheweke sing nakokake asalku saka ndi saka akehe wong kang bareng karo aku. Ya merga kancaku kabeh wis ngerti aku asale saka endi, hehe. Mbuh kenangapa kok bareng dheweke nakokake asalku saka endi rasane kaya beda. Krungu swarane atiku ndredeg jantungku kaya mlayu-mlayu sprint cepet banget. Ana ing dalan karo bonceng motor aku karo mesem-mesem dhewek, rasane bungah pisan. Sabubare   pertandingan kuwi aku lan kanca-kanca ora langsung balik nanging mampir ana ing rumah makan dhisik. Arane warung steak, haha ya aku tembe mlebu marang panggonan kaya ngono kuwi mangan panganane wong barat. Ning warung kuwi biasa wae aku ngobrol-ngobrol karo kanca liyane kaya adate. Wis rampung mangan banjur balik. Sakdurunge budhal aku bayar ongkos parkiran dhisik. Kebeneran motore dheweke ana ing buri motor sing aku tumpaki sisan wae tak bayari, dheweke mesem karo ngomong kesuwun. Aku ya melu mesem, dheweke uga ngajak guyon sedhela. Rasane bungah banget atiku, mbuh kenangapa. Wengi kuwi pancen wengi kang seje lan tembunge mau esih kaemut-emut nganti saiki. Jenenge Awan Kurniawan mahasiswa semester enem jurusan Ilmu Keolahragaan. Yen kuliah pancen aku ora tau tepang karo dheweke merga dheweke wis semester dhuwur lan aku esih semester enom dadi jadwale beda. Bareng wengi iku bocah-bocah kang wis foto-foto ngunggah fotone ana ing grup ukm facebook. Dheweke lan aku ya ditandai. Ning kono aku lan mas Awan komen-komenan seru nanging durung kekancanan ana ning facebook. Akhire aku ngewanekake kanggo ngeadd dheweke dadi batir facebook ku. Eeeeh ora suwe saka aku ngeadd dheweke langsung ngonfirm aku. Dheweke pancen dudu wong sombong dadi pantes wae nek gelem ngonfirm aku. Suwe-suwe aku karo dheweke sering komunikasi lewat dunia maya yaiku facebook. Yen aku pasang status dheweke sok-sok komen, ngono uga aku. Sangsaya suwe aku karo dheweke tambah akrab nganti chatingan barang. Batinku ya mung supaya dadi tambah akeh batir akrabku, nanging nyatane manah ora bisa dilomboni. Ana rasa-rasa sing nlusup luwih saka rasa seneng karo batir. Nalika latiyan aku dadi sering ketemu karo dheweke. Aku uga dadi tambah semangat anggone latiyan sanajan yen ketemu latiyan ya aku ora akeh ngomong karo dheweke. Merga dheweke kuwi wonge ora doyan ngomong nanging akeh polah-polahe dheweke sing gawe aku gumun. Latiyan bareng kirane wis ana sewulanan, nganti kanggo persiapan pertandingan sebanjure. Bar pertandingan kuwi latiyan dipreikake dhisik merga ketabrak wulan puasa. Batinku “ yaa prei ning umah ora bisa latiyan lan ketemu karo dheweke maneh”.
Wulan puasa dilakoni kaya biasane aku ya ngrasa bosen merga aku adoh karo kanca-kancaku. Wayahe saur kaya biasa aku mangan karo bapak lan ibu. Aku bukak hape jebule ana pemberitahuan saka fb pesan saka Awan Kurniawan.
“Assalamualaikum, dhik Banyumasmu ndi?”
“Wa’alaikumsalam, aku Rawalo mas”
“ hah masak? Ya cedhak karo aku dhik mas Sampang ngerti kan dhik?”
“ oya aku ngerti mas”
“lagi ngapa dhik?”
“ aku lagi nonton tivi”
“lah wis maem apa durung?”
“ uwis mas miki nembe bae”
Aku kaget nalikane dheweke ngomong asale saka Sampang cedhak saka nggonku, takira asale mas Awan kuwi ya saka daerah wetanan. Saka wektu iku aku karo dheweke dadi sering omong-omongan lewat fb, nganti dheweke njaluk nomor hape ku ddi kadang fban kadang smsan. Saben dina mas Awan mesti sms aku takon lagi ngapa, wis maem durung, saka esuk nganti bengi malah kadang ngasi lembur nggarap tugas bareng diselingi chatingan lewat facebook. Suwe-suwe merga dheweke aweh perhatian sing luwih maring aku, aku dadi kulina lan ngrasa sreg karo dheweke. Malah bareng mlebu kuliah aku sok-sokan diparani dheweke yen aku balik kampung dheweke uga pernah dolan menyang omahku. Saka iku, aku ngrasa yen apa sing dheweke lakoni marang aku wis ngluwihi perhatiane marang batir biasa. Aku esih eling nalika dheweke dolan maring omahku, mas Awan langsung bisa akrab karo wong tuaku. Sing gawe lucu malah nalikane ibuku weruh dheweke dikirani mas Awan kuwi wong wedhok merga rambute kang gondrong kaya rambute wong wedhok. Pas ning omah ya ibuku seneng karo dheweke. Mas Awan nganti ngomong yen aku karo dheweke wis kaya sedulur dadi ana ing rantau ana kancane bisa njaga siji lan sijine. Krungu omongane dheweke, atiku ngrasa krenteg nganti semana penggalihe dheweke marang awakku.
Saben dina diliwati kaya biasa dina-dinaku diiseni karo sms-smse mas Awan, perhatiane, lan keapikane marang aku. Aku ing kene uga dadi ngrasa aman lan tenang merga wis ana wong sing bisa dijaluki tulung kaya sedulure dhewek. Kadang mas Awan dolan maring kosku malah pernah ngancani aku tuku obat. Rasane uripku beda kaya adate, bareng mas Awan teka ana ing panguripanku. Perhatiane dheweke marang aku kuwi kaya perhatiane wong marang pacare, tanganku dicekel, rambutku dielus-elus, gawe aku ngrasa bingung dhewek, nanging aku ya ora wani takon maring dheweke apa sing sebenere dheweke rasakake marang awakku iki. Amarga aku ya esih kemutan biyen nalika wiwit tepang dheweke ngomong yen aku lan dheweke bakalan dadi kakang adhik selawase. Aku bingung nanging uga seneng, ana wong sing ngomong kaya mengkana. Nanging sawijining dina atiku ngrasa suwung merga mas Awan ujug-ujug ora sms aku maneh kira-kira seminggu suwene. Aku ngewanekake sms dheweke dhisik.
“mas kenangapa si, kok wis pirang dina iki ora sms adhik maneh apa mas wis lali karo adhik, apa mas lagi nyoba ngilang saka adhik? Maaf yen adhik ana salah”
“ora kok dhik, mas ora ana penggalih kaya mangkana. Kuwi penggalihmu wae”
Sepet kuwi mas Awan dadi jarang sms aku. Suwe sangsaya suwe aku ya dadi melu meneng ora wani nganggu dheweke.  Nganti saiki dheweke ora pernah ngubungi aku maneh, embuh apa alesane. Aku namung bisa ngenang kenangan sing dheweke aweh maring aku. Kaya nalikane pas malem minggu dheweke maring kosku ngajak aku dolan sewengi muput. Diajak mangan, ndelok-ndelok kaendahan kota, jagongan ing alun-alun, rasane bungah banget merga aku ora pernah ngrasakake bungah kang kaya mengkana. Ing wengi kuwi aku celathu.
            “ mas aku wedi yen mas Awan bakal ninggalake adhik”
            “tenang dhik aku ora bakal ninggallake awakmu”
Omongan kuwi sing aku cekel nganti saiki, sanajan saiki dheweke wis ora genah ana endi parane. Ujug-ujug amleng ora ana pawartane, namung lewat fb utawa kanca-kancane kang kadang aweh ngerti marang aku kahanane dheweke. Kaya kecocog eri atiku lara-selarane, rasane wis ora bisa diungkapake maneh karo tembung apa wae. Dheweke kang wis menehi janji-janji marang awakku, dheweke sing aweh perhatian luwih nanging saiki ora blas. Dheweke urung ngerti apa sing dirasakake atiku merga perhatiane dheweke, aku uga ora ngerti apa satemene rasa ing jero manahe marang sliraku. Tresnaku kang kependhem, durung medhar saka lambeku, nanging dheweke malah wis ngilang ndisiki godhong-godhong garing kang tumiba saka pange. Atiku wis ora genah rupane, dina-dina kang endah kae wis ilang ketutupan awan ireng lan kegawa angin ora ngerti maring ndi parane. Aku namung bisa sabar lan pasrah nglakoni urip iki. Muga-muga mas Awan tansah ora duweni rasa sebel utawa wadeh marang awakku, lan mugi ana titi mangsane dheweke ana maneh ing panguripanku.